Tradisi Muaw / Manugal Cara Menanam Padi Suku Dayak Maanyan Kalimantan Tengah
Sunday, September 29, 2019
Muaw / Manugal
Muaw atau Manugal adalah suatu tradisi Masyarakat Dayak
Maanyan yang telah diwariskan turun temurun oleh nenek moyang bangsa Dayak.
Muaw atau manugal ialah tradisi menanam benih padi secara
bersama-sama atau gotong royong pada lahan kering atau dataran tinggi (Bukan
Gambut).
Tradisi ini dilaksanakan dimulai dari pembersihan lahan dengan
cara Tamaruh (Pembersihan Ranting-ranting kecil semak belukar), kemudian Neweng
(Pembersihan lahan dengan memotong habis seluruh pohon dan ranting yang besar),
dan Nutung (Membakar lahan dengan sebelumnya wajib membuat sekat antara lahan
yang dibakar dan tidak) serta diakhiri dengan Muaw/Manugal.
Saat tiba musim Muaw masyarakat Dayak Maanyan akan
melaksanakan Pengandrau (Gotong Royong secara bergantian menanam benih padi
pada lahan masing-masing dengan jadwal yang sudah ditentukan). Pengandrau
tersebut dengan meminimallisir kemungkinan Taraung Andrau (Jadwal pada hari
yang sama). Dan menekankan pada prinsip gotong royong yang hakiki.
Musim Muaw ini biasanya ada di antara bulan Oktober – November
setiap tahunnya dengan mempertimbangkan awal musim penghujan dan akhir musim
kemarau.
Masarakat adat Dayak Maanyan yang ingin melaksanakan tradisi
ini tentunya harus mempersiapakan lahan yang ingin ditanami bibit padi. Dan
melaksanakan Pengandrau supaya disaat ingin Muau, tidak terjadi Manungu
(Menanam bibit padi secara sendirian).
Benih padi yang biasanya ditanam adalah yang cocok dengan
lahan kering dan dataran pegunungan seperti jenis Padi Tamuun, Padi Gilai, dan
Padi Longkong.
Adapun saat pelaksanaan Muaw, masyarakat adat yang bergotong
royong akan dibagi menjadi dua kelompok tugas. Seperti kelompok laki-laki,
bertugas membuat lobang pada tanah menggunakan Ehek (Kayu yang runcingkan)
tempat memasukkan benih padi yang ingin ditanami. Dan kelompok kedua ialah para
perempuan dan anak-anak, bertugas memasukkan benih padi pada lobang yang sudah
dilobangi kelompok laki-laki sebelumnya.
Tradisi ini akan diakhiri dengan makan bersama dirumah orang
yang melaksanakan Muau tersebut. Dan ciri khas makanan yang dihidangkan adalah
Sayur Ume yang terdiri dari perpaduan Daging ayam atau Ikan Asin laut yang
dimasak bersama kuah santan, bihun, labu kuning dan labu air serta ditaburi
bawang goreng diatasnya.
Namun, tradisi ini sekarang mulai terancam dengan kebijakan
dari pemerintah yang melarang pembukaan lahan dengan cara dibakar untuk
mencegah kebakaran dan kabut asap. Dan
ada juga yang menuduh bahwa penyebab kebakaran lahan tersebut karena peladang
atau pekebun.
Faktanya adalah Masyarakat Dayak Maanyan khususnya sudah
melaksanakan tradisi ini secara turun temurun dengan rasa penuh tanggung jawab
terhadap lingkungan sekitar lahan yang dijadikan ladang atau kebun. Disamping
itu juga masyarakat Dayak tidak pernah membuka lahan gabut untuk pertanian dan
bercocok tanam. Dan pada era sekarang ini, tradisi ini sudah mulai langka
dilaksanakan. Yang artinya kalaupun petani atau peladang yang dituduh sebagai
pelaku kebakaran hutan dan lahan adalah
sesusatu yang perlu dipertanyakan, apalagi kalau yang dituduhkan lahan
gabut...itu sangat tidak mungkin.
Jadi, dari tradisi Muaw ini dapat saya simpulkan bahwa tradisi ini memang harus dipertahankan oleh Masyarakay Dayak Maanyan khususnya dan Pemerintah Daerah pada umumnya. Dan Pemerintah seharusnya jangan melarang membakar lahan untuk kalangan masyarakat petani atau peladang, karena mereka sudah dewasa dalam menyikapi dan mempersiapakan lahannya yang tidak begitu luas.